Saya sedang duduk-duduk dengan teman-teman arisan SMA saya di restoran. Teman-teman baik yang sudah berteman dengan saya selama 20 tahun. Bukannya saya gemar mengikuti arisannya, tetapi ngumpul-ngumpul memang sudah menjadi kegiatan paling diminati di negeri ini sejak zaman bokapnya bokap kita. Mungkin sudah dalam gen kita. Mangan ora mangan asal ngumpul. Dengan makan tentunya lebih baik.
Banyak hal yang tidak pernah berubah soal tradisi arisan. Ngobrolnya, bergosipnya, tarikan undiannya maupun ketawa-ketiwinya. Yang berubah tentu saja ada. Pertama, tempat. Arisan di rumah sendiri tidaklah menjadi pilihan, kecuali dilakukan jam dua pagi saat motor-motor berseliweran sudah pulang ke kandangnya masing-masing dan busway yang super-tidak-efektif tidak mengambil 1/3 dari jalan Jakarta yang sudah sempit. Arisan harus dilakukan di mal, yang terjangkau dari rumah atau kantor siapapun.
Kedua, foto bareng. Arisan tidak akan dianggap resmi tanpa dokumentasi, selayaknya Jokowi tanpa baju kotak-kotaknya. Yang jadi korban tentunya mas waiter, atau mbak waitress, yang selalu didaulat beraksi di belakang kamera, karena tiada satupun dari kita yang rela tidak ikutan difoto. Tidak masalah, toh menjadi latihan gratis buat para pelayan, menjadikan mereka fotografer freelance handal di kala bebas tugas.
Yang sulit saya mengerti, kenapa banyak sekali yang minta harus dua kali jepret? Itu minimal. Tiga kali, lebih pas. Apakah wajah kita berubah lebih siap pada jepretan kedua? Mungkin mata lebih tajam, senyum nambah 5%, gigi tidak keliatan ujungnya saja, atau belahan dada lebih ditutup sedikit? Oh, atau dibuka?
Baiklah, semua mungkin lebih terjamin di jepretan kedua, atau ketiga. Namun bagaimana dengan spontanitas? Atau keceriaan yang apa adanya? Pada saat kita keringetan berat setelah olahraga, apakah teh Sosro botol kedua lebih nikmat dari botol pertama?
Setelah tiga klik dari kamera hape pertama, permintaan kedua sampai kedua belas sudah menunggu. Kamera setiap peserta arisan sudah berbaris menunggu. Pelayan semakin bingung, gigi peserta arisan semakin kering, dan meja sebelah mulai mengasah pisau steaknya.
Sebagai fotografer, memotret orang beramai-ramai juga tidak kalah menantangnya. Suatu kali saya diminta memotret lima sutradara perempuan untuk promo film Cinta Yang Tak Terucap. Kebetulan kelimanya sudah dikenal luas dengan personanya masing-masing. Tantangan utamanya adalah bagaimana mengeluarkan karakter masing-masing orang, menjaga intensitasnya supaya tidak dominan sendiri dan menyatukan semuanya dalam sebuah ‘klik’ momen dengan sempurna.
Kita di Indonesia sudah terlahir untuk senang berpose. Contoh nyatanya saya alami setiap liburan rame-rame. Begitu satu orang mulai siap-siap foto berdua dengan temannya, dalam sekejap mata, jumlah yang berpose sudah sepuluh kali lipat, memaksa yang memotret harus mundur dan mundur, supaya semua muat di frame. Setelah foto, semua langsung bubar, tanpa ada yang peduli hasilnya seperti apa. Tidak peduli juga bila sampai kelak sampai tua, tetap tidak pernah melihat hasilnya.
Begitu juga bila sedang rame-rame menjenguk teman yang baru melahirkan. Foto bersama harus dijepret sejumlah orang yang difoto, karena semuanya mau bergiliran berpose sambil menggendong si adik bayi. Tentunya dengan kamera hape masing-masing. Untungnya fenomena ini tidak berlaku untuk para laki-laki yang biasanya lebih sibuk bertukar kabar ataupun peluang bisnis antara satu sama lainnya selama kunjungan.
Saya sendiri sering bertanya-tanya. Bila kita sedang ngeliat-liat foto jadul, sebenarnya siapa yang kita perhatiin? Tampang kita sendiri, atau teman-teman kita waktu itu? Atau keduanya?
Jadi, yang bener, foto bareng itu enaknya seperti apa? Pertama, kita belajar bahwa sekali jepret sudah cukup, kecuali kita difoto pas presiden mendadak mampir ke rumah kita, atau sedang didokumentasikan ketika akad nikah di mesjid. Atau memang yakin bener, pas barusan difoto, mata sedang nutup, atau jari ga sengaja masih ngupil di lubang hidung sehingga memang layak diulang. Saya tidak yakin ada yang peduli kalau pipi saya terlihat lebih tembem di jepretan pertama ataupun rambut runcing saya sedikit turun ke kanan di jepretan kedua.
Kedua, belajar untuk tidak serakah. Tidak semua foto bareng harus kita simpan di kamera sendiri. Social media sekarang sudah ramah koq, foto-foto yang di-upload ke situ dengan gampang bisa di-download ke laptop masing-masing.
Ketiga, demi persiapan kalau-kalau tips pertama dan kedua gagal, pemilik restoran harus meluangkan waktu setengah jam seminggu untuk para waiter dan waitress berlatih, memotret dengan iPhone di tangan kanan, Blackberry di tangan kiri, kamera saku di kaki kiri dan SLR di kaki kanan, sambil menyabarkan pengunjung meja sebelah yang bermuka masam.
Dikutip dari buku saya Hampir Fotografi, terbit 2013. Pesan online di admin@jerryaurum.com