Bila ada yang harus (sangat) disyukuri menjadi seorang fotografer, adalah kesempatan menikmati jalan-jalan (dan makan-makan) gratis. Tepatnya, dibayari malah. Jadi pada saat Lowe, advertising agency Dji Sam Soe, menawarkan pemotretan mengasyikkan ini di Komodo, saya langsung jawab, “Berangkat!” Kebetulan saya sudah beberapa kali memotret di Flores. Dan sudah beberapa kali mengelus-elus kepala komodo (yang ini bohong).
Ide dasar pemotretan ini adalah untuk merekam keindahan Flores, sebagai maha karya Indonesia. Mantap. Tidak salah pilih, karena saya berangkat dari seorang fotografer travel (tidak banyak yang tahu saya motret untuk artikel National Geographic kan?)
Seperti biasa, sebelum jadwal syuting, tim survei berangkat terlebih dahulu untuk melihat lokasi dan sebagainya. Setelah semua bahan terkumpul, diadakanlah pre-production meeting (ppm) untuk membahas A-Z pemotretan: lokasi, properti, model yang dipakai, jadwal penerbangan, penginapan, skema pemotretan, arah matahari, makanan enak apa saja, pembagian kamar, mobil jemputan, dan seribu hal lainnya yang selalu bikin mules, disamping urusan pemotretan. Part of the bloody job, my friend.
Singkat cerita, diputuskan bahwa pemotretan akan ada di dua lokasi, di daerah Gili di Lombok dan kepulauan Komodo di Flores. Saya berangkat sendiri ke Lombok karena foto yang diperlukan cukup sederhana, dan kelak akan bergabung dengan seluruh tim di Bali sebelum terbang bareng ke Labuhan Bajo di Flores Barat, kota terdekat kalau mau berlayar ke pulau Komodo atau Rinca.
Begitu saya keluar pesawat di Lombok, saya melihat karpet merah menyambut, lengkap dengan penari-penarinya. Ternyata fotografer penting juga ya? Tidak. Sambutan meriah ditujukan untuk delegasi pak menteri yang ternyata satu pesawat dengan saya, karena ternyata Lombok sedang dipenuhi rombongan menteri-menteri luar negeri se-Asia Tenggara berkonferensi. Penjagaan menjadi ekstra ketat dengan ramainya pengunjung. Begitu pula sesampainya di hotel di daerah Senggigi, tidak jauh dari Mataram, dipenuhi orang lalu lalang. So much for good scheduling. Nasi sudah menjadi Indomie, saya pikir, pemotretan harus jalan terus.
Karena cuaca sore itu mendung, saya batal ke Gili dan memutuskan hunting saja di pantai sekitar hotel. Langit sangat mendung, penuh dengan awan gelap. Cocok untuk foto pantai yang mempesona, bila ingin menakut-nakuti turis kelak.
Esok paginya, setelah menyumbangkan beberapa kalori menurunkan jukung (perahu motor kecil bercadik) ke laut, saya berlayar ke daerah Gili bersama seorang pengemudinya. Gili Air, Gili Meno dan Gili Terawangan adalah kawasan favorit di Lombok utara, kira-kira 1-2 jam berperahu dari pelabuhan Mataram. Cuaca tetap mendung. Untung menjelang sampai di tujuan, sinar matahari mulai mengintip dan akhirnya bersinar cerah. Saya langsung tancap memotret di Gili Air dan Gili Meno, dan memutuskan untuk melewatkan Gili Terawangan yang dipadati turis. Keputusan yang benar. Hanya lima menit perjalanan pulang, hujan deras turun mengguyur jukung saya. Kalau dipikir-pikir, selagi basah kuyup saya koq masih bisa tidur pulas? Kebo, memang.
Malamnya, saya sudah bergabung dengan seluruh tim di Bali dan ternyata mendadak diputuskan oleh sang klien, HM Sampoerna, bahwa foto Lombok tidak jadi dipakai. Nice. So much for good scheduling, again.
Seluruh tim Jakarta terdiri dari 13 orang: saya, 1st assistant yang mengatur produksi, dua kru kamera/lighting, seorang make-up artist merangkap wardrobe master, empat orang agency Lowe dan 4 model. Tim lokal dari Labuhan Bajo yang membantu berasal dari operator diving Dive Komodo, yang mengatur kapal dan transportasi darat.
Besok paginya, seluruh tim terbang dari Bali ke Labuhan Bajo. Dua pulau terbesar habitat komodo, pulau Komodo dan Rinca, harus ditempuh dalam beberapa jam dengan kapal dari Labuhan Bajo. Dalam penerbangan yang delayed lebih dari 7 jam ini, ternyata diikuti kejutan manis dari Trans Nusa, maskapai yang kami pakai. Seluruh bagasi satu pesawat ditinggal di Bali, karena takut keberatan. Tentunya, seperti biasa, tanpa pemberitahuan. Great. I don’t love you anymore, Trans Nusa. Jadi seluruh tim tiba di hotel dengan tangan hampa, kecuali saya, yang menaruh pakaian dalam ransel kabin saya. Not bad, pemilik toko suvenir hotel tersenyum gembira, dagangan t-shirt komodonya laku keras.
Pemotretan sendiri berjalan dua hari, dengan penuh suka duka dan perubahan disana-sini. Mulai dari usul dadakan untuk memotret para model di kampung nelayan yang membuat jadwal memotret kayak/kano malah terlantar, sampai urusan kelimpungan mencari bintang laut yang habitatnya ternyata sudah pindah dari lokasi semula. Buat saya sendiri, yang paling berkesan adalah pada saat saya memutuskan untuk mencari lokasi baru untuk adegan kayak di hari kedua. Saya dan beberapa anggota tim pindah ke perahu kecil bersama sang kapten kapal dan singgah ke sebuah atol (daratan kecil yang hanya muncul di kala surut) cantik berpasir putih. Sayangnya, busi motor perahu kami tidak setuju dengan ide ini dan tidak mau menyala lagi pada saat kami mau kembali ke kapal, tiga kilometer jauhnya. Sang kapten kapal, satu-satunya yang tahu mengemudikan kapal, bersama kami. Jadi siapa yang bisa mengambil alih kemudi untuk menjemput kami? Setelah beberapa jam gosong dipanggang matahari tanpa minuman, akhirnya salah satu anak kapal berhasil ditodong paksa oleh para anggota tim pemotretan yang berada di kapal untuk mengemudikan kapal mendekat ke atol dan menjemput kami.
At the end, it’s all worth it. Pemotretan berakhir sukses. Model-model yang asyik dan koperatif, tim Sampoerna dan Lowe yang selalu terbuka mendengar masukan saya, kru yang sigap dan setia serta komodo-komodo yang setuju tidak memangsa saya, semuanya membuat proses memotret tidak kalah menarik daripada hasilnya.
PS Untuk yang penasaran mau tahu foto-foto aslinya sebelum digabungkan untuk format billboard (montagé), ini dia.