Di tengah pagelaran busana yang ramai, banyak sekali sosok-sosok menarik hilir mudik dan membuat saya, seorang fotografer, tersenyum sambil bepikir dan membayangkan, apa alasan setiap orang dalam memilih busana yang dikenakan mereka malam itu. Lagi seru-serunya memperhatikan seorang socialite cantik, teman saya, seorang perancang busana, menepuk pundak saya dan memperkenalkan Vera, temannya dari London yang baru pindah ke Jakarta.
“Seperti apa rasanya jadi fotografer? Pasti seru ya dikelilingi cewek-cewek cantik,” tebak Vera ditengah-tengah percakapan. Saya cuma tertawa dan membenarkan. Mungkin karena ketemunya di acara seperti itu. Tetapi sebenarnya fotografi kan luas, dan banyak sekali aspek lainnya yang tidak segemerlap kelihatannya, pikir saya, tetapi tidak saya ucapkan, karena saya tidak ingin merusak citra cool yang ada di kepala teman baru saya ini.
Fotografi, dalam kurun perjalanannya selama 100 tahun lebih, telah menjadi medium yang sangat dekat dengan kita semua, apalagi sejak maraknya kamera digital yang membuat kita semua semakin senang memotret (dan difoto) tanpa memikirkan biaya beli film seperti dulu. Saking luasnya, terjadilah spesialisasi di dalamnya, yang menciptakan fotografer dengan bidangnya masing-masing: fashion, commercial, wedding, travel, nature, jurnalistik, underwater, aerial dan sebagainya. Biasanya, si fotografer memutuskan bidang mana yang diperdalamnya tergantung dari beberapa hal. Contohnya karakter kepribadiannya, apakah dia seorang yang ekstrovert atau penyendiri. Bila ekstrovert, objek fotonya biasanya orang. Bisa pula dari kesenangannya untuk berada di studio atau di alam terbuka. Atau, semata-mata dari faktor profitnya, seperti membanjirnya fortografer wedding karena keranjingan orang-orang untuk membuat foto pra pernikahan dengan harga yang semakin membumbung tinggi.
Satu hal yang pasti sama dialami semua fotografer. Fotografi membuka jendela dunia bagi penggemarnya. Seringkali seorang fotografer harus berkeliling kota, bahkan negara, untuk merampungkan pekerjaannya. Jadi, banyak jalan, banyak dilihat. Menyenangkan sekali bukan? Saya telah melintasi lebih dari 140 kota di dunia karenanya. Dibayarin pula, haha. Selain itu, dengan kesenangan kita memotret, tempat yang kelihatannya membosankan bisa jadi hidup dan menarik. Pasar ikan contohnya. Boro-boro terpikir untuk mampir. Berbeda ceritanya bila kita senang menangkap gairah, dinamika dan potret kehidupan disana melalui lubang intip kamera kita. Tempat itu menjadi begitu kaya dan jauh dari membosankan.
Fotografi juga memberikan akses. Dalam dunia jurnalistik, semua orang cenderung memberi ruang dan waktu untuk wartawan berkamera. Saya sendiri telah memasuki banyak tempat terlarang, atau tempat-tempat yang sangat pribadi, hanya karena alasan memotret. Selain tempat, fotografi juga memberi kesempatan untuk menemui orang-orang yang susah untuk diakses., karena banyak sekali (ternyata) orang yang senang difoto, untuk alasan apapun. Dalam dunia portrait and fashion, tentu saja bukan hal yang aneh bila fotografer sering melihat model berpakaian dalam mondar-mandir dengan santainya. Ketelanjangan bahkan bukan hal yang aneh lagi buat banyak fotografer fashion yang telah makan banyak asam garam. Walaupun sayangnya, seringkali banyak fotografer yang tergelincir ke dalam pornografi, dan sialnya, mengatasnamakan seni sebagai topengnya. Yah, tetapi memang susah sih ditarik garis batasnya, karena memang seni bukan ilmu pasti.
Kamera juga bisa mengintimidasi. Suatu hari, saya sedang dalam penugasan di kawasan kampung nelayan. Saya disambut dengan tatapan tidak ramah, dan terasa bahaya mulai mengancam. Segera saya keluarkan kamera, tersenyum dan membidik. Langsung terjadi interaksi yang menarik antara lensa dan objeknya, dimana mereka menjadi sedikit salah tingkah dan akhirnya mulai tersenyum. Ketegangan mencair. Bukti nyata, fotografi mengintimidasi, namun pada saat bersamaan membuat orang merasa penting.
Salah satu hal terbaik menjadi fotografer adalah saat saya mendapatkan teman dan sahabat karenanya. Setiap hari merupakan hari baru dengan teman dan pengalaman baru. Mulai dari si konglomerat hingga abang beca, dari model cantik hingga bapak tua. Belum lagi komunitas penggemar fotografi sendiri, yang kian hari jumlahnya kian banyak.
Modal menjadi fotografer profesional memang tidak kecil, namun juga tidak lebih besar dari kebanyakan profesi lainnya. Saya hitung-hitung, kira-kira sama dengan praktek dokter gigi, atau membuka biro desain grafis kecil. Dan bila kita menjalankan bisnisnya dengan passion dan kecermatan, profitnya juga menggiurkan. Picasso pernah berkata, “Yang paling asyik dari seni itu adalah ketika saya membeli rumah besar.” Saya tidak bisa lebih setuju lagi, walaupun saya tidak mempunyai rumah besar.
Singapore, May 2008.
Seperti dimuat di Cosmopolitan Men Indonesia, edisi Juni – September 2008