7 Kesalahan (Usang) Biro Iklan Kepada Fotografer

Biro iklan jangan membuat masa depan fotografer kelabu 😀

Saya sudah bekerja dengan puluhan, kalau bukan ratusan, biro iklan di Indonesia maupun di negara lain. Sebagian besar adalah biro-biro iklan yang dimotori oleh orang-orang hebat yang tiada henti menginspirasi isi otak saya dengan ide-ide brilian, kepekaan visual yang patut diacungi jempol, ataupun hasil pengolahan riset yang berbuah solusi mencengangkan untuk para klien. Sebagian besar dari orang-orang hebat biro iklan ini hingga sekarang menjadi klien setia, teman nongkrong, dan beberapa menjadi teman baik saya selama bertahun-tahun.

Tentu saja kisah kasih antara fotografer dengan biro iklan diwarnai banyak bumbu, yang rasanya manis-asin menyegarkan, maupun yang asam-kecut menyebalkan. Berikut ini beberapa pandangan, sikap atau perilaku yang masih suka tersisa di beberapa (INGAT, beberapa looh!)  biro iklan di Nusantara ini, yang saya pandang salah dan usang, namun masih terpelihara:

1. Menganggap fotografer itu supplier. Pada dasarnya, fotografer memang merupakan tim produksi dibawah supervisi biro iklan. Namun jangan lupa, fotografer itu dipakai karena keahliannya yang tentu saja (biasanya) tidak dimiliki oleh para pelaku biro iklan. Memperlakukan fotografer sebagai ‘partner/rekan’ akan lebih memberikan keuntungan kepada biro iklan, dan akan membuat hasil iklan mendapatkan sentuhan artistik yang seringkali tidak terpikir oleh tim kreatif periklanan.

2. Menganggap fotografer sebagai eksekutor. Memang, banyak fotografer yang kuliah fotografinya hanya menitikberatkan pada aspek teknis, dan mencetak para ‘tukang foto’ yang jago teknis, tanpa kemampuan olah-ide, atau komunikasi visual. Tapi itu dulu, zaman Orde Baru, zaman Pentium 2, zaman hape masih segede bata. Sekarang fotografer yang handal adalah yang mengerti konsep, bisa diajak diskusi ide dan treatment, akrab dengan pesan dan tujuan iklan. Tim kreatif usang (yang terbiasa memakai fotografer katro) bisa jadi merasa terganggu dengan kehandalan ini, bukannya merasa terbantu dan terdukung.

3. Memilih fotografer bukan karena handal, tetapi karena nyaman. Nyaman memang penting, selayaknya tempat tidur lembut yang enak. Tetapi kenyamanan jangan diletakkan diatas kepiawaian si fotografer, karena biasanya memang akan membuat suasana kerja yang menyenangkan, tetapi tanpa hasil visual yang bener-bener mumpuni. Sebaiknya kemampuan kerja tim fotografer menjadi patokan utama, walaupun bukan satu-satunya yang penting.

4. Mengkambinghitamkan fotografer. Tidak semua proyek berlangsung mulus. Ada beberapa yang hasilnya tidak ciamik, dan tentu saja banyak dikarenakan kinerja fotografer yang tidak bagus. Namun tidak jarang pula biro iklan menimpakan kesalahan atas ketidakberesan atau ketidakmampuan mereka kepada tim fotografer di depan sang klien, tanpa pernah diketahui si fotografer. Hal ini tidak susah dilakukan, mengingat biasanya fotografer tidak ikut dalam presentasi hasil karya dengan klien.

5. Mendahulukan fotografer yang mendukung mark-up, komisi atau korupsi. Urusan perut memang penting, apalagi banyak biro iklan tidak lagi bisa mendapat bagian alias profit dari media placement. Jadilah kong-kalikong dengan para supplier jadi tumpuan baru. Bila tidak bersedia membuat penawaran ganda, atau mark-up tersembunyi, tercoretlah si fotografer. Biro iklan seperti ini sudah sepantasnya masuk selokan, karena hanya membuat industri kreatif menjadi busuk dan bau.

6. Mendewakan Digital Imaging. Banyak tim kreatif yang lahir di era digital, dan sama sekali tidak mempunyai pengalaman akan betapa pentingnya fotografer yang mantap di belakang kamera, bukan hanya di depan komputer. Tentu saja peranan digital imaging sudah tidak terpisahkan dari fotografer, semua tahu itu. Tetapi digital imaging punya keterbatasan, yang tidak akan diketahui oleh tim kreatif yang tidak terbiasa bekerja dengan fotografer piawai. Lagipula, you’ll miss the real fun of a good photo session!

7. Pembayaran telat. Berbeda dengan 6 butir diatas, yang satu ini sudah mengakar di hampir semua biro iklan, selayaknya kebiasaan kita nyogok Polantas di jalanan. Bila ada biro iklan yang bisa bayar tepat waktu, itu keajaiban. Dalam hampir 12 tahun karir profesional saya, hanya pernah terjadi dua kali. Selebihnya, harus ditagih terus menerus dan membuat orang finance biro iklan terlihat seperti sosok ibu tiri yang menyebalkan dan orang admin fotografer terlihat seperti pengemis mengenaskan. Sebaiknya komitmen pada deadline alias tepat waktu bersama-sama dipegang. Jangan hanya tahu menuntut deadline pekerjaan, tetapi sebaliknya mengabaikan deadline pembayaran. Semua sama-sama butuh makan.

Tags: , , , , ,